Mutiara dia pantai Meulaboh
By jiki ramdani
(1)
Meskipun tsunami telah berlalu, namun bagi cut mutia, gadis cilik yang baru saja menginjak usia enam tahun, sulit sekali untuk bisa melupakan tentang peristiwa tragis itu, begitu dahsyat, sebuah cerita nyata yang begitu memilukan yang berakhir dengan kehancuran. Sampai kapanpun ia tidak bisa melupakan kejadian itu. Setiap saat ia memandang laut dan mendengar deru ombak yang meggulung-gulung itu membangkitkan kenangan-kenangan dimasa silam yang saling berlarian dipelupuk matanya. Terkadang timbul rasa takut dan segala keberaniaannya lenyap begitu saja, meskipun demikian ia masih bisa tersenyum dan membaur bermain bersama anak-anak lainnya yang juga bernasib
Mutia bersama teman-teman lainnya bersama-sama menyanyikan sebuah lagu aceh yang berjudul bungong jeumpa :
Bungong jeumpa
“Bungong jeumpa bungong jeumpa
Megah di Aceh
Bungong telebeh-telebeh
Indah lagoina
Puteh kuneng mejampu mirah
Keumang siulah cidah thah ruah
Puteh kuneng mejampu mirah
Keumang siulah cidah thah ruah
Lam sinar buleun lam sinar buleun
Angen peu ayon
Ruroh mesuson-mesuson
Nyang mala-mala
Mangat that mebe’I menyo tat him com
Lepah that harum si bungong jeumpa
Mangat that mebe’I menyo tat him com
Lepah that harum si bungong jeumpa”
Tiba-tiba mutia berhenti bernyanyi, mulut mutia merapat dan segera ia menolehkan kepalanya, bua bola matanya berbinar memancarkan kebekuan yang mendalam. Kedatangan nenek tua itu membuat mutia terkejut, nenek tua itu lalu mengembangkan kedua seulas senyumannya yang ramah, mutia menyambutnya dengan gelak.
“anak manis kamu sedang apa disini?” nenek tua itu meraih tangan mutia yang mungil,tampak terlihat disikut tangan kanan mutia terbentang sebuah garis bekas luka yang telah mengering. Bekas luka itu sepertinya cukup parah. Nenek tua itu melihat dengan lebih jelas lagi, perasaan sedih meliputi hati nenek.
Mutia menarik tangannya lalu menyembunyikannya kebelakang tubuhnya
Nenek itu bertanya, suaranya pelan “ tanganmu kenapa, sakit tidak” tangan sang nenek mencoba untuk mencari tangan mutia.
Mutia diam seribu bahasa, ia menggeleng-gelengkan kepalanya, butiran airmatanya bermunculan laksana bulir-bulir air hujan. Suara isak tangis yang tertahan memukul-mukul hati nenek itu. Dengan sekuat tenaga nenek tua itu merebut mutia kedalam pelukannya, hatinya terasa sejuk dan berirama. Seakan-akan ia sedang memeluk cucunya yang hilang dalam ganasnya tsunami.
“nenek siapa” tanya mutia tiba-tiba, dua bola matanya mengarah kearah wajah nenek tua. Nenek tua tersenyum lembut, diusapnya rambut mutia.
“ aku adalah seorang nenek tua yang sedang mencari cucuku dio.” Kata-katanya terhenti, pandangannya mengawang kelangit biru “ kemana yah dio? Dio belum makan dari kemarin? Pasti sekarang dio sedang mencari nenek ?apa kamu tahu dimana dio?” sinar mata nenek itu melemah, wajah mutia berubah menjadi wajah dio yang sedang tersenyum lalu berubah lagi menjadi wajah mutia lalu berubah lagi menjadi wajah dio terus dan terus berubah hingga nenek menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia memejamkan matanya tak kuasa menatap wajah mutia.
“nenek kenapa?” tanya mutia,
“ aku hanya teringat sama dio” jawab nenek tua itu, suaranya melemah.
“dio itu cucu nenek yang paling nenek sayangi yah” mutia tak henti-hentinya mencoba menenangkan perasaan hati nenek. Nenek tua itu berusaha untuk tetap tegar.
Nenek tua itu mengangguk “ dio cucu ku yang paling aku sayangi, nenek kangen sekali,rindu sekali, semenjak peristiwa tsunami hingga sekarang, nenek belum juga menemukan dio. Nenek khawatir sekali, nenek takut kalo dio sudah tidak ada. Apa yang dapat lakukan oleh seorang nenek tua renta ini bila cucu satu-satunya pergi meninggalkanku.” Kilauan bening airmatanya hendak meluncur namun terhenti karna ia tahu bahwa ia harus memiliki semangat untuk bertahan dengan semangat itu ia bisa mencari dio.
Mutia mendekati nenek, ia mengeluarkan kedua tangannya dari belakang punggungnya, diusapnya pipi nenek yang basah itu dengan jari-jemari mutia. Nenek tua tersentap kaget, sebuah kekuatan baru seperti bermunculan didalam jiwanya. Sentuhan lembut jari-jemari mutia yang mengusap pipi nenek yang basah mampu mengeringkan jutaan kubik airmata yang tertahan di dua ujung bola matanya.
“ kamu memang anak yang baik..dimana rumahmu ?”
Apa yang dapat dijawab oleh mutia dengan pertanyaan seperti itu, ia tak kuasa menahan jutaan kubik airmatanya. Ia menangis sesenggukan. Nenek tua merasa bersalah karna telah memberi pertanyaan yang mungkin membuat mutia bersedih.
“ceritalah sama nenek, kesedihan yang kamu punya jangan kamu simpan didalam hati, ada nenek disini, luahkan segala yang ada didalam hatimu”
“ rumahku hancur oleh tsunami, mutia tidak tahu ayah dan ibu apakah selamat atau tidak, abang mutia telah hilang dibawa tsunami karna menyelamatkan mutia. Mutia sendiri, mutia sendiri..mutia kangen sama mereka...mutia rindu sangat...”setelah mengatakan itu, mutia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tanganya lalu berlari..berlari terus hingga hilang dari pandangan nenek tua itu, keempat penjuru yang tertangkap oleh jala matanya adalah bangunan yang hancur dan puing-puing kehancuran. Semilir angin menusuk kulit dan urat nadi hingga mengeluarkan suara-suara sendu yang tertahan dikerongkongan.
Nenek tua itu bangkit lalu pergi mencari mutia, ia berjalan dengan sisa-sisa kekuatan yang terkumpul didalam jiwanya, dicarinya disetiap sudut bangunan yang hancur, jantungnya berdebur kencang, kakinya seolah menyuruhnya untuk terus mencari mutia, ia berteriak memanggil-manggil nama gadis kecil itu, hingga pantulan suaranya yang menggema menggetarkan langit dan bumi. Sesekali ia juga menyebut-nyebut nama dio.
Begitu ia sampai disebuah toko bertingkat yang hancur, ia menemukan mutia sedang duduk sambil memeluk kedua lututnya. Mutia sedang memeluk boneka, pandangannya kosong. Nenek menghela nafasnya pelan-pelan, suara nafas nenek membuat mutia beranjak dari tatapan kosongnya.
“ nenek mengerti, ayo ikutlah sama nenek, jangan duduk disitu” kedua tangan nenek mencoba meraih tangan mutia
Mutia meraih tangan nenek. “ ikut sama nenek yah” kata nenek.
Mutia berjalan mengikuti nenek itu pergi.
(bersambung)
Posting Komentar