jiki ramdani blog
Oleh jiki ramdani

Hal tersulit bagi ayah adalah menerima kenyataan bahwa ia telah melakukan kesalahan besar, tidak ada satupun didunia ini yang berani tega membunuh anaknya sendiri. Ayah merasa bersalah, raut wajah ayah dipenuhi seraut muram yang sulit tertumpahkan, terpendam begitu saja, mencair namun sulit untuk mengalir hinga membeku menjadi penyesalan yang tiada berujung. Setiap hari ayah selalu melihat aku dari luar jendela, ayah menyaksikan aku yang sedang terbaring tak sadarkan diri, sesekali ayah menangis, yang keluar dari mulut ayah adalah isakan tangis yang tertahan. Hujan turun begitu saja, meskipun turun tak akan pernah mampu menggoyahkan ayah dari posisi berdirinya, dari kejauhan dokter herman yang sejak dari tadi mengamati ayah, pelan-pelan menghampiri ayah, lalu dokter herman menepuk pundak ayah, ayah tak bergeming, diam saja seolah semua indra rasa yang ada didalam diri ayah telah hilang dan habis terkuras oleh airmatanya. Dokter herman berdehem, lalu katanya “ putramu zakky semakin lama kondisinya semakin memburuk, tapi meskipun demikian saya yakin bahwa putra anda yang bernama zakky itu adalah seorang anak yang kuat, berdoalah, saya akan berusaha menyembuhkan putra anda semampu saya, saya akan mencoba melakukan yang terbaik” kata dokter herman, lalu ia berlalu.
Ayah menarik nafas lalu ayah mengejar dokter herman “ dok, anakku tak akan mati kan, anakku tidak boleh mati, dia harus hidup, saya mohon sembuhkanlah anakku..” nafas ayah memburu beraroma ketakutan dan kebimbangan yang mendalam.
Ini hari apa, bulan apa, ini siang atau malam semua tampak sama, yang ada didalam fikiran ayah adalah aku, zakky putranya. Ayah tampak begitu kurus dan tak terurus, pernah ada seorang suster perawat yang mencoba memberi ayah makan namun ayah selalu menolaknya baru setelah dibujuk oleh dokter herman, ayah lalu makan.
Seminggu, sebulan dan bahkan berbulan-bulan ayah terus saja menjaga aku disamping, tak henti-hentinya tangan ayah menggenggam kelima jari-jemari aku. Ayah selalu mendoakan aku setiap malam, pagi, siang, sore bahkan setiap hembusan nafas ayah adalah doa untukku. Namaku selalu disebut berulang-ulang dalam setiap untaian doa ayah.
Pada bulan kesembilan, kondisiku sudah mulai pulih namun belum seluruhnya. Melihat tanganku bergerak, ayah langsung senang, ayah langsung mencium tangan aku sambil berkata “bangunlah anakku sayang, ayah sudah tidak sabar ingin memelukmu, menyayangimu seperti dulu, ayah rindu dan teramat rindu senyuman manismu,senyumanmu bagi ayah adalah semangat, semangat yang kokoh, dengan mengingat senyumanmu jiwa ayah seakan terisi oleh suatu kekuatan baru” . butiran air mata ayah berjatuhan hingga lengan aku basah oleh tetesan air mata ayah.
Pada hari ke 12 barulah aku bisa membuka kedua kelopak mataku pelan-pelan, orang pertama yang aku lihat adalah ayah, wajah ayah basah oleh airmata. Ayah membantu aku untuk bangkit, ayah memeluk kepala aku, wajah ayah seperti langit yang cerah.
“zakky marah sama ayah?”
Aku menatap ayah, menatap ayah lebih dalam dan dalam, pelan-pelan aku teringat akan kejadian hari itu, ayah mencoba membunuh aku dengan tangannya sendiri. Aku tidak bisa marah, tanpa fikir panjang aku langsung memeluk ayah erat-erat.
“zakky sayang sama ayah, mana bisa zakky marah sama ayah”
Begitu mendengar kata-kata aku, ayah memeluk aku semakin erat, yang aku dengar adalah deru tangis airmata ayah yang terpendam dalam hati, lewat degupan jantung ayah, semakin menyakinkan aku bahwa ayah begitu bersedih.
***
Seminggu kemudian aku mulai sembuh total, aku akhirnya diijinkan pulang oleh dokter setelah pengecekan kesehatan dan terapi selesai, begitu tiba dirumah aku merasakan keadaan dalam rumah tampak begitu dingin, semua benda tampak berdebu, warna tembok tampak begitu kusam, namun begitu aku mengedarkan pandanganku kesegala penjuru sudut ruangan, aku menemukan banyak sekali jejak kenangan yang tertinggal disetiap dinding tembok rumah, mulai dari ketika hari ulang tahun aku yang ke-enam, peristiwa hujan-hujanan, ikan warna-warni dan segala kenangan yang dulu pernah dilalui kini berayun-ayun didalam kepalaku membentuk suatu untaian kalung yang berkilau memancarkan jutaan kenangan yang membuat mata aku berkaca-kaca. Aku dan ayah saling berpandangan, aku menangkap ada seraut sinar penyesalan yang begitu mendalam didalam kedua mata ayah yang sayu dan berkali-kali ayah selalu bertanya hal yang sama “ zakky marah sama ayah?”
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, membenamkan kepalaku kedalam pelukan ayah
“zakky sayang sama ayah, zakky tahu ayah tidak bermaksud membunuh zakky…tapi zakky siap kok kalo ayah menginginkan zakky mati..” ayah buru-buru menutup mulutku dengan kedua tangannya, dengan suara gemetaran dan sedikit parau, ayah berkata “ sudah..sudah..jangan bicara tentang kata mati…” ayah tak sempat menyelesaikan kata-katanya karena seluruh emosi tidak akan mensia-siakan waktu sekarang, esok dan nanti untuk terus menyayangimu sepenuh hati, ayah khilaf nak..ayah benar benar tidak tahu apa yang harus ayah lakukan ketika itu, fikiran ayah kosong “ sesekali ayah mencium kening aku dan memelukku dengan amat sangat erat.

Daun-daun berjatuhan, perlahan-lahan daun-daun itu mengubur kenangan dimasa silam, yang tertinggal adalah bangkai suasana, bangkai kerinduan, bangkai senyuman yang mewangi disetiap sudut ruangan rumah. Tahun ini aku genap berusia 7 tahun, aku dan ayah duduk didepan kue tart coklat, ada tujuh batang lilin yang berdiri melingkar diatas kue tart, ayah memanduku untuk berdoa lalu aku meniup satu persatu lilin-lilin itu, setelah meniup lilin yang ke-enam aku jadi teringat sesuatu, bau-nya aroma kenangan dapat ku rasakan, satu persatu wajah mendiang ibu dan wajah mendiang kakak arif tampak begitu jelas kulihat, mereka tersenyum sambil memandangku. Ayah dapat merasakan apa yang aku fikirkan dan aku rasakan saat ini
“ ayah mengerti, sudahlah…meskipun ibu dan kakak arif tidak bersama kita lagi disini, masih ada ayah, ayah percaya mereka akan selalu ada dihati kita”
Akhirnya aku meniup lilin yang ketujuh, ayah mencium keningku
“zakky anakku mau hadiah apa dari ayah”
“aku mau ibu dan kakak arif kembali” aku langsung menangis sekuat-kuatnya, ayah terdiam. Aku tahu sebenarnya ayah ingin menangis tetapi ayah berusaha untuk tetap tegar dan kuat dihadapan aku. Lalu ayah membawa aku ke tempat dimana mendiang ibu dan mendiang kakak arif dikuburkan. Setelah membaca doa lalu kami menabur bunga, kakak arif dikuburkan disamping ibu agar nanti kalo aku dan ayah berziarah bisa dengan mudah menziarahinya.
Sinar lembayung mulai patah diterpa angin senja yang datang dari arah timur, tumpahan air mata masih tersisa diujung sudut mata, senja merapat dimulut dermaga, dan lembayung pun tenggelam kedalam lautan luas, ingin rasanya aku melipat sinar lembayung lalu menyimpannya didalam memoriku.
***
Berikutnya adalah masa-masa yang paling membahagiakan dalam hidupku, hari-hari yang aku lalui penuh dengan kasih sayang yang melimpah ruah dari ayah.
0 Responses

Posting Komentar